Selasa, 06 Juli 2010

Memaknai Kebebasan

Memaknai Kebebasan

Oleh: Hermanto Harun*



Adagium kebebasan dalam ruang kekinian seolah menjadi slogan setiap orang. Setiap individu sangat begitu gampang beralibi dengan nama kebebasan sekaligus berlindung dibalik layar bebas atas pelbagai aksi yang dilakukan. Gemuruh kebebasan bertalu seiring dengan gegap gempita reformasi di negeri ini. Dengan bertameng demokrasi, dan berkedok Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan menjadi semboyan yang selalu nyaring disuarakan oleh pelbagai kelompok dan komunitas. Genderang kebebasan seolah menjadi intisari dari demokrasi yang cenderung “diperkosa” pengertiannya menjadi bebas tampa nilai dan batas.

Agaknya, wacana kebebasan menemukan momentum pengikraran, sekaligus juga meretas ketidakpastian makna kebebasan itu sendiri. Semua pihak bersikukuh, bahwa perilaku, tindakan, pemikiran atau pemahaman keagamaan didasarkan pada asumsi kebebasan. Terjemahan kebebasan seolah melindungi semua faham keberagamaan walau harus bertabrakan dengan kode etik, atau kaidah-kaidah prinsip yang telah ditegaskan dalam suatu agama. Akhirnya, semua perilaku selalu merasa dilindungi oleh kebebasan. Goyang erotis artis dangdut, pornograpi, prostisusi, bahkan penistaan agama juga berargumentasi dengan ‘dalil’ kebebasan.

Jika merujuk kepada pengertian sederhananya, dalam bahasa Indoensia, kebebasan yang berakar kata dari bebas memiliki beberapa pengertian, seperti: lepas sama sekali, lepas dari tuntutan, kewajiban dan perasaan takut, tidak dikenakan hukuman, tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan dan merdeka (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud,1990, 90). Pengertian etimologik ini tentu tidak memadai dan memungkinkan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas sosial. Karena, jika itu terjadi, maka akan melahirkan ketidakbebasan bagi pihak lain. Ini berarti, tidak ada seorang-pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak orang lain. Dengan demikian, pengertian kebebasan secara akademik terikat oleh aturan-aturan, baik agama, etika maupun budaya. Keterikatan makna bebas dengan konsepsi keagamaan, etika dan budaya inilah membuat pengertiannya menjadi bias dan subyektif. Karena setiap agama dan budaya memiliki aturan dan norma yang mungkin berbeda sesuai titah yang direduksi dari ajaran kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya itu. Agama Islam misalnya, memiliki terminologi tersendiri terhadap kata kebebasan (hurriyah). Dalam kitab al-Mausu’ah al-Islamiyah al-‘Ammah, kebebasan didefenisikan sebagai kondisi keislaman dan keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun moral. Dari pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan. Pertama, kebebasan internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang berbeda dan bertentangan. Kebebasan jenis ini tergambar dalam kebebasan berkehendak (hurriyat al-iradah), kebebasan nurani (hurriyat al-dhomir), kebebasan jiwa (hurriyat al-nafs) dan kebebasan moral (hurriyat al-adabiyah). Kedua, kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah). Bentuk kebebasan ini terbagi menjadi tiga, a) al-tabi’iyah, yaitu kebebasan yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu melakukan sesuatu sesuai apa yang ia lihat. b) al-siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah di berikan oleh peraturan per-undang-undangan. c) al-diniyah, kemampuan atas keyakinan terhadap pelbagai mazhab keagamaan.

Penerjemahan kebebasan dalam konsepsi keislaman seperti di atas jelas tidak di sepakati oleh kelompok “the other”. Hal ini karena rujukan dan norma yang dijadikan acuan sangat berbeda. Perbedaan tentang makna kebebasan inilah yang melahirkan perbedaan batasan, nilai dan cakupan dari ungkapan kebebasan tersebut. Hingga akhirnya, terjadi perang wacana terminologi antar pelbagai agama dan peradaban dalam mengakuisasi label dan defenisi kebebasan. Bahkan, tanpa disadari telah terjadi penindasan terhadap kebebasan itu sendiri. Muhammad Imarah, dalam sebuah karyanya “al-Ushuliyah Baina al-Gharb wa al-Islam” menulis, bahwa pelbagai istilah yang berkembang baik di kalangan masyarakat Timur maupun Barat, meskipun memiliki kesamaan dalam pengungkapannya, tapi berbeda dalam kandungan, latar belakang dan pengertian. Dan ini yang membuat kerancuan dalam pemakaiannya dalam budaya, politik dan dunia informasi modern sekarang ini.

Di antara istilah yang sama dalam pengungkapan, baik Timur maupun Barat adalah slogan kebebasan. Dalam perspektif HAM yang diproduksi Barat misalnya, kebebasan menjadi adagium yang bebas tafsir, bahkan cenderung bebas nilai. Akhirnya terjebak dalam kotak relativisme. Hal ini karena Barat menerjemahkan kebasan berstandarkan individual, al-fard mikyal kulla syaií. Individu adalah standar segala sesuatu. Meskipun, menurut Rifa’ah al-Tahtawi (1801-1872), kerinduan dan penamaan Barat terhadap kebebasan (hurriyah) merupakan inti dari keadilan dalam Islam. Karena, pengertian hukum kebebasan adalah menegakkan equallity (musawat) dalam hukum dan perundang-undangan yang menghapuskan tindakan kediktatoran penguasa terhadap setiap individu.

Walau dalam istillah kemungkinan adanya persamaan ucap antara Timur dan Barat, namun tetap saja meninggalkan persoalan yang sangat serius di ranah realitas. Hal ini terlihat, betapa kebebasan yang semestinya berorientasi untuk memerdekakan dan melindungi manusia secara individu maupun komunal, justru terkungkung dalam jeruji relativisme yang membuat sesuatu tidak beridentitas. Kebebasan yang dipropagandakan oleh dunia Barat menjadikan relativitas sebagai kelamin dan standar sebuah kebenaran, yang akhirnya berujung pada consensus. Jadi, kebenaran sesuatu diukur dari pendapat yang di “gandrungi” oleh publik, bukan dari keharusan yang harus dilakukan oleh mayoritas. Disinilah kritik Yusuf al-Qaradhawi terhadap kebebasan yang di hembuskan Barat. Menurut dia, kebebasan yang disusung oleh Barat bermakna penistaan. (al-hurriyah al-syakhshiyah fi al-gharb maknaha al-tasayyub). Setidaknya ada tiga persoalan, menurut Qaradhawi, yang harus dikritisi. Pertama. Bahwa Barat sangat peduli dengan kebebasan, demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di negara mereka, bahkan menjaganya dengan kesucian. Jika demikian, maka menjadi hak negara lain juga untuk melakukan kebebasan, demokrasi sesuai aturan undang-undang negaranya. Kedua. Jika masyarakat muslim melaksanakan kebebasan sesuai dengan anjuran Barat, terutama dalam ruang kebebasan individu, yang ruang tersebut sangat terbuka, maka kebebasan ini berarti bebas melakukan sesuatu sesuai dengan apa disukai bukan apa yang mesti dilakukan. Ini berarti tak ubahnya seperti hewan yang berbuat sesuai nafsunya, dan tidak berdasarkan akal dan hati nurani. Ketiga. Kebebasan Barat terkesan menghargai perempuan. Akan tetapi penghargaan Barat ini hanyalah kulitnya dan menistakan isinya (tahtarimu zahira, wa tamtahinu bathina).

Kritik terhadap konsepsi kebebasan yang diusungkan oleh Barat tersebut juga diungkapkan oleh sejumlah intelektual Islam. Dalam buku al-Hurrayah fi al-Qurán, Moh Abd Wahed Hijazy misalnya, mengungkapkan bahwa kebebasan dalam al-Qur’an (Islam) tidak akan pernah sama, alias sangat berbeda, baik ragam, bentuk, tingkat maupun orientasinya dengan kebebasan yang usungkan oleh pelbagai aliran sosial dan filsafat. Perbedaan mendasarnya terletak pada sumber kedua kutub tadi. Kebebasan dalam al-Qur’an bersumber daqri Allah SWT. Sedang kebebasan dalam konsepsi aliran sosial dan filsafat bertolak dari kreasi subjektifitas manusia. Unsur subjektifitas manusia tersebut berakar dari sifat khasnya yang egoistik, rakus bawaan dan oportunistik.

Dari sini jelas sudah, bahwa kebebasan yang sedang berkeliaran di negeri ini terserabut dari defenisi keagamaan. Kebebasan yang menggaung sekarang ini terjebak dalam kerangkeng relativisme yang tidak akan pernah menemukan titik simpul yang tuntas. Karena semua serba relativ. Ujug-ujugnya, timbul ungkapan “kebenaran hanyalah milik Tuhan”. Inilah ungkapan yang mungkin realitasnya sama dengan maksud ucapan khalifah Ali RA “kalimat al-haq, wa yuradu biha al-bathil” perkataan yang benar, tapi bermaksud sesat. Ungkapan “kebenaran hanyalah milik Tuhan” akhirnya menjadi jagalan bagi orang-orang yang mengobral demokrasi dan selalu bertutur tentang HAM. Dua istilah terakhir inilah yang kerap menjadi legitimasi kebebasan. Ahirnya Jika ini yang terjadi dan kemudian diabaikan, maka akan melahirkan kebebasan-kebebasan yang tidak lagi berpatok pada norma agama tapi berkiblat kepada nafsu hewani. Dampaknya, barangkali sudah sangat kasatmata dan sama maklum, seperti freesex, miras dan dekadensi moral.

Dari beberapa argumentasi di atas, penulis berkesimpulan bahwa kebebasan yang sebenarnya adalah ketidak-bebasan itu sendiri. Karena, tidak satupun perilaku yang terbebas dari aturan dan norma, baik yang bersifat ilahiyah (ketuhanan) maupun insaniyah (kemanusiaan). Adanya aturan terhadap sesuatu, merupakan “pengikat” yang menjadikannya tidak bebas. Artinya, kebebasan tidak mutlaq (lepas) tapi muqayyad (terbatas). Bukankah begitu? Wallahu’alam.

*Ketua Ikatan Daí Indonesia (IKADI) Kota Jambi. Dosen Fak Syariah’IAIN STS. Aktifis Center For the Study of Contemporary Indonesian Islam and Society (CSC IIS) Jambi.